By Dwitanto
Jejak kecilnya terhapus hujan, tapi masih membekas air matanya yang jatuh, meleleh dari matanya yang sayu sebelum ia hapus dan buang air mata itu. dia masih merasakan sakit ketika angin menghampirinya dan memberikan kehangatan (kedinginan) khas malam hari. malam itu malam yang sangat panjang buatnya, setiap detik menentukan akan jadi apa dia setiap tahunnya. malam itulah, malam lahirnya air mata kosong.
***
Jauh sebelum dia bertemu dengannya, dia tak pernah membuat suatu daftar ideal tentang apa-apa yang harus orang yang dia cintai memilikinya, baginya, cinta adalah suatu perasaan dimana kau bebas memilih menjadi siapapun: pejabat, menteri, pegawai, penyair, esais, apapun. tak peduli dimulai dari manusia hina dina dari kasta paria sekalipun. dia selalu mendamba cinta yang memberikan kehidupan dan kedamaian, juga kebebasan.
Suatu hari, bertemulah ia, suatu hati. hati yang indah, penuh dengan warna, tanpa cela, tanpa noda. pada awalnya dia tak begitu peduli, karena dia anggap ia sebagai kakak. kakak yang akan selalu ada ketika dia membutuhkannya. tapi, ketakutan itu muncul. "bagaimana jika aku menyukainya atau dia menyukaiku? aku tak ingin kehilangan ia." dan begitulah angin yang bernama takdir, tak pernah tahu darimana ia berhembus dan kemana tujuannya, ia selalu membawa sesuatu. dan sesuatu kali ini adalah sebuah perasaan, akan butuhnya hati untuk melengkapi, cinta.
***
Dia selalu bersikap biasa padanya, memberi perhatian sebagaimana adik, memberi kasih (sayang) sebagaimana adik, tapi... perasaan tetaplah perasaan, seberapa kuatnya engkau menahannya, bak tanggul yang telah berlubang, ia akan runtuh juga. suatu malam, malam kedua di minggu ketiga di bulan ketiga. dia minta diantar membeli sesuatu, dalam hatinya dia selalu bertanya kecil. "malam inikah saatnya? malam inikah saatnya?." pikirannya buyar, hatinya tetap utuh meski beberapa meninggalkan jejak luka masa lalu. sampai akhir perjalanan, dia harus berhenti karena telah usai. pertanyaan itu semakin membesar, dan entah mengapa malam itu ia mengajaknya pergi dulu sebentar, dia dibawa menuju depan gerbang sebuah lembaga, cukup luas memang untuk sekedar 'nongkrong'. di saat itulah, ia meminta sebentar untuk menggenggam tangannya, ia menutup mata, sejenak, untuk kemudian tersenyum, entah ada kata apa dibalik senyumannya itu dia tak tahu. setelah malam itu, semuanya berubah. dan malam tak lagi sama.
***
. . . . . . . . . . .
***
pada akhirnya semua (mungkin) harus berhenti. dengan tetap menyimpan perasaan yang dibawa angin kala itu, dia selalu berpasrah diri menerima semuanya, belajar untuk ikhlas, dan walau bagaimanapun, dia tak peduli orang berkata apa dia akan tetap percaya hatinya.
Mungkin kalian berpikir titik-titik apa itu di atas, itu adalah titik-titik hujan, dimana air mata yang paling tulus yang dia pernah jatuhkan mengalir dari sela-sela matanya. air mata itulah bukti bahwa perasaan yang dibawa angin kala itu sangat besar untuk meruntuhkan kehormatannya untuk tidak pernah menangis lagi, sebagai seorang wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar